Selasa, 25 Desember 2012

Derap Kaki

Suara-suara mobil pengantar mahasiswi Umm Al Qura University masih terdengar sibuk. Pasti ada kuliah pagi ini. Aku meyakini itu. Sinyal Wifi dari warung internet dekat rumah CAHAYA juga terbuka. Pasti ada kuliah pagi ini. Sebuah variabel yang meyakinkanku untuk tetap memaksa kakiku melangkah menuju jami'ah pagi ini. Sempat aku meyakini bahwa hari ini akan ada kabar bahwa jami'ah libur. Karena sejak subuh tadi rinai hujan mengguyur kota Makkah. Pada pengalaman yang lalu, baru diramalkan akan hujan saja, Wakil Rektor Jami'ah akan buru-buru mengumumkan penghentian proses belajar-mengajar. Apalagi sampai hujan lebat? Dalih yang sempat aku iyakan untuk bertahan di rumah. Enggan keluar.

Namun kenyataan bahwa deru mobil itu semakin nyaring terdengar. Serta sinyal wifi yang terbuka sejak jam menunjukkan angka tujuh. Aku bersegera menyiapkan diri berangkat ke Jami'ah. Semoga dugaanku tidak meleset

Aku berhasil mengajak kakiku melangkah. Menyusuri tempat parkir masjid, terlihat jejeran toko foto kopi juga sudah terbuka. Ada beberapa mahasiswi yang membeli beberapa kebutuhannya. Dari kejauhan terlihat juga mahasiswi di luar pintu gerbang jami'ah. Sepertinya mereka menunggu jemputan. Berarti tidak ada kuliah pagi ini. Simpulku cepat. 

Sesampainya di depan Jami'ah aku memastikan kepada salah seorang mahasiswi. Ternyata memang benar mereka sedang menunggu jemputan. Jadi suara deru mobil yang tidak selesai-selesai itu karena bersambung dengan suara mobil yang menjemput. Bi kulli khairin 'ala kulli hal, insyaAllah. Desahku.

Mengingat pekan ini pekan terakhir sebelum pekan depan mulai ujian akhir semester. Sisa keyakinanku masih ada. Aku belum sepenuhnya yakin bahwa kuliah benar-benar diliburkan. Ku lihat rinai hujan sudah berhenti. Cuma mendung masih menggantung di langit Makkah. Aku terus masuk menyusuri mabna Tha', kemudian mabna Dal. Di Mabna ini saudari fillah bagian kebersihan jami'ah terlihat memakai abaya, menenteng tas dan menyimpan dan merapikan perangkat kebersihannya. Wah sepertinya ini benar-benar libur.

Namun rupanya kakiku masih terus melaju, melanjutkan perjalanan memastikan ruang kuliahku hari ini benar-benar kosong atau tidak? Dari Mabna Dal aku menuju Mabna Alif. Sesampainya di Mabna Alif ruang 210, ruang kuliahku kosong tidak satupun manusia aku dapatkan di dalamnya. Tidak perlu menyesal, Qy! Hiburku sambil berusaha keras melengkungkan bibir. 

Akhirnya kaki ini harus yakin untuk kembali ke rumah CAHAYA. Dari Mabna Alif aku lewati Mabna Ba' dan Mabna Jim. Hingga bertemu jembatan yang menjadi penghubung antara Mabna Jim dan Mabna Dal. Dari atas jembatan itu aku menuju Mabna Tha'. Aku keluar dari jami'ah melalui pintu Mabna Tha' atau dikenal juga dengan pintu masjid. Karena tepat di seberang jami'ah ada sebuah masjid.

Semoga Allah catat kaki ini sebagai kaki yang hanya menujuNya. Aku harus memaksa upayaku untuk meyakini bahwa tidak ada kesiaan dalam gerak kakiku pagi ini. Bukankah bibir ini sempat melempar lengkungannya, lidah mengucap serta menjawab salam kepada setiap orang yang ditemuinya. Hingga terproduksi energi lapang yang tidak ada toko manapun di dunia ini yang menjualnya. Semoga Allah membimbing kaki ini agar hanya meniti jalanNya. Ameen.     

Senin, 24 Desember 2012

Ibu & Pagi

Hari itu masih sangat pagi. Dingin menyusup, nyaris mempora-poranda pertahanannya untuk memulai geliat paginya. Lima lembar dari sepuluh lembar tugasnya belum disentuhnya. Pada jam 8 pagi itu harus dikumpulkan. Mengulang mata kuliah belum dijamahnya. Wirid Al Quran satu juz ba'da subuh belum ditunaikannya. Membuatkan sarapan untuk anak semata wayangnya, Samiyah dan suaminya juga belum dimulainya.

Setumpuk rutinitas yang harus diselesaikan dalam sedikit waktu yang tersedia. Melawan dingin sambil menikmati pagi. Memaksa ingatannya akan sabda model utama bagi kehidupan ini. Muhammad bin Abdillah Saw. Burika li ummaty fii bukuriha. Keberkahan bagi umatku di pagi harinya. Sebuah sabda yang memberikannya semangat yang meluap untuk melewati rutinitas yang sama sebagaimana hari-hari biasa.

Tetiba ia menepikan selimutnya. Bersegera menuju dapur. Mengiris pisang. Meletakkannya di atas permukaan roti. Menaburi sedikit keju dan susu coklat. Ditutup dengan roti lain. Dipotong segitiga. Enam potong berhasil dibuatnya. Kemuadian meletakkannya di tempat pemanggang. Menunggu masak. Tangannya mengambil mushaf yang tersedia di dapur. Mengejanya. Ketenangan menyerapi ruang dirinya. Hangat pun juga memendari pembuluh darahnya.

Dua lembar berhasil dibacanya. Tidak seperti hari biasanya. Tapi cukup melahirkan energi. Semoga cukup untuk jenak pagi sampai menjelang dzuhur. Harapnya. Enam potong roti pisang dan tiga gelas juz jeruk ditata di atas meja makan.

"Samiyah, sarapan yuk!" menghentikan anaknya membaca. Samiyah menganggukkan kepala dan bersegera menuju meja makan.

"Ayah, sarapan sudah siap!" mendengar ajakan istri. Suaminya mengamini dan meninggalkan laptopnya.

Semua melingkari meja makan. Sambil menikmati sarapan yang dibuatnya bersama orang terkasihnya. Tangan kirinya sibuk menulis sisa tugas kuliahnya.

"Menulis apa, bu?" tanya Samiyah.

"Surat cinta untuk dosen" Jawabnya asal sambil melempar senyumnya ke arah suaminya.

"Dosennya laki atau perempuan, bu?" tanya suaminya.

"Kalau perempuan kenapa, kalau laki juga kenapa?" jawabnya balik bertanya.

"Ya ga apa-apa, Bu"

"Kayaknya ada yang khawatir dan cemburu ni, Bu" Timpal Samiyah cengengesan.

Wa lil haditsi baqiyah :-)

Kamis, 20 Desember 2012

Tinta Umat


Dari beliau kecil membersamai dakwah Rasulullah Saw. Rasulullah meninggal beliau masih remaja. Beliau merupakan kerabat Nabi Muhammad Saw.

Perhatiannya yang besar terhadap ilmu. dimulai sejak usianya belia. Selalu berada pada barisan paling depan setiap menghadiri majelis ilmu bersama Rasulullah Saw. Mendengar dengan kedua telinganya, berfikir dengan akalnya, dan menghafal dengan ingatannya yang kuat.

Sejak awal Rasulullah Saw menemukan pada dirinya benih yang baik dalam belajar. Maka dari itu Rasulullah Saw selalu merangkul bahunya untuk membimbing dan mengajarkan Islam. Hingga Rasulullah mengangkat tangannya, mendoakan beliau: "Allahumma faqqihhu fi addin, wa 'allimhu at ta'wil. Ya Allah Jadikanlah ia seorang yang paham dalam agamanya, dan ajarkanlah kepadanya menafsirkan!"

Betapa seringnya Rasulullah Saw mengangkat tangannya.  Mendoakan sahabat ini dengan doa tersebut di atas.

Sahabat kecil ini merasa bahwa ia diciptakan untuk berilmu. Oleh karenanya selalu belajar. Khususnya setelah Rasulullah Saw meninggal. Beliau selalu pergi kepada Sahabat-sahabat Nabi Saw, menanyakan mereka, merekam setiap jawaban yang didapatkannya dari mereka, dalam memorinya. Terkadang satu pertanyaan ditanyakannya kepada lebih 50 orang sahabat Ra. Jawaban-jawaban tersebut kemudian dikumpulkannya untuk diuji kebenarannya, hingga kemudian didapatkannya kesimpulan akhir dan lahir sebagai pemikirannya.

Beliau tidak pernah absen dalam majelis ilmu. Untuk menyerap ilmu yang banyak terlewatkan dari Rasulullah Saw.

Suatu hari beliau duduk menunggu Zaid bin Tsabit Ra, salah seorang penulis wahyu, juga salah seorang yang hafal Al Quran beserta penjelasannya. Beliau menunggunya dalam waktu yang tidak sedikit. walau cuaca pada saat itu berada pada puncak musim dingin dengan angin kencang yang menyertai.

Ketika sang sahabat belia ini melihat Zaid bin Tsabit keluar. Dengan sigap berdiri dan bersegera menujunya untuk membantu Zaid bin Tsabit menaiki kudanya.

"Mengapa anda melakukan ini?" Tanya Zaid bin Tsabit merasa malu dan tidak nyaman diperlakukan seperti itu.

"Bukankah begitu Rasulullah Saw mengajarkan kita bagaimana berinteraksi dengan para ulama kami" Jawab Sahabat belia ini dengan bibir yang berbinar senyum.

"Mengapa anda menunggu saya begini? Mengapa tidak mengetuk pintu rumah saya? di luar sangat dingin dan angin sangat kencang" Tanya Zaid bin Tsabit lagi menyayangkan.

"Saya ingin menanyakan dalam sebuah perkara, dan saya tidak ingin mengganggumu. Maka dari itu saya menunggumu hingga anda keluar dari rumahmu. Inilah Anda sudah keluar bi hamdillah wa karamihi" Jawab sahabat belia ini.

Demikianlah sahabat belia ini menyerap ilmu. Membersamai Nabi Saw saat usianya 13 tahun. Menyerap ilmu darinya. Kemudian menyerap ilmu yang terlewatkan dari sahabat-sahabat Nabi Saw. Sahabat belia ini kemudian tumbuh menjadi orang yang paling paham dan orang yang berilmu. Doa Rasulullah Saw untuk menjadikan Sahabat belia ini orang yang paham terhadap agama, Allah kabulkan.

Hingga kemudian sahabat belia ini duduk bersama para masyayikh, menjadi mufti. Menjawab persoalan-persoalan umat dengan ilmunya. Dengan khazanah keilmuannya yang beragam. Hingga nyaris tidak ada pertanyaan yang tidak bisa beliau jawab. Tidak ada persoalan yang kemudian tidak ditemukan solusinya.

Hampir dari segenap penjuru bumi ini dating. Untuk menanyakan kepadanya perkara-perkara agama. Beliau menjawab pertanyaan mereka dengan jawaban yang sederhana hingga jawaban yang mencengangkan. Tidak jarang juga ditanyakan kepadanya persoalan dunia. Beliau menjawab persoalan mereka dengan jawaban yang mencerminkan keluasannya dalam belajar dan banyaknya khazanah keilmuan yang dimilikinya.

Tidak berlebihan jika kemudian beliau digelari dengan "Hibrul Ummah. Tinta Ummat". Sahabat ini adalah Abdullah bin Abbas.  

Selasa, 18 Desember 2012

Bahagia dengan Sabar

Talak tiga adalah keinginannya kini. Sudah sejauh itukah kebenciannya terhadap suaminya. Enam tahun dilaluinya bersama, apakah akan diakhiri hanya karena hal sepele. Beberapa kejanggalan yang membuat saya tidak habis pikir. 

“Kamu tidak tahu bagaimana kehidupan berkeluarga, makanya hanya bisa bilang bersabar, bersabar dan bersabarlah. Sampai kapan aku harus bersabar? Sabar itu ada batasnya!!!” Jawabnya ketika kata ‘sabar’ yang saya sodorkan sebagai solusi dari permasalahan jenaknya.

Setiap mendapatkan jawaban seperti itu saya selalu mengatakan: “Ya sudah, kalau gitu jangan tanya saya, saya bukan sohibul khibrah. Berkonsultasilah kepada Syeikh A!” Jawab saya selalu.

“Daiman wa Abadan qulty hakadza. Begitu selalu dan akan selamanya begitu kamu bilang!” Ketusnya tidak puas.

Walau tanggapannya demikian, dia mengamini untuk berkonsultasi kepada seorang Syeikh melalui telpon. Menyatakan keinginanannya beserta alasan dibalik keinginan anehnya. Sang Syeikh bilang “Bersabarlah, jika suamimu itu masih shalat. Tiada alasan untuk tidak sabar selama suamimu masih melaksanakan shalat!” Nasehat singkat sang Syeikh yang rupanya menenangkan dirinya. Serta terlihat mulai meninjau kembali keinginannya.

Nasehat ustadz itu mengingatkan saya pada firman Allah di surat Al Baqarah ayat 45. “Dan minta pertologanlah kalian dengan bersabar dan shalat….” Sabar dan shalat yang berkolerasi sempurna sebagai terapi bagi persoalan yang menyapa kehidupan kita. Tidak heran jika kemudian teman saya itu kembali tersenyum setiap mendapat sms dari suaminya. Harapan untuk bersama kembali terbentang. Begitulah rupanya sabar dan shalat menyelesaikan masalahnya.

Senin, 17 Desember 2012

Cinta Bersemi di Arafah

Empat tenda sudah berhasil berdiri kokoh. Beberapa tenda di sekitar tendanya juga sudah tegak. Sesekali matanya menangkap lalu lalang beragam manusia, yang disatukan oleh satu kalimat agung: lailaha illallah, muhammad rasulullah. Juga talbiyah yang terdengar membahana. Mengetuk ruang dirinya. Bagaikan air yang menyegarkan kegersangan tubuh setiap insan dahaga. 

"Sumayyah, ta'aly!" Panggil Ablah Rahmah mengejutkannya. Kakinya kemudian menghampiri sumber suara yang memanggilnya.

"Tolong lanjutkan ya, saya diperintahkan untuk koordinasi dengan bagian konsumsi." Perintah Ablah Rahmah lengkap dengan alasannya.

Menjadi kebiasaan yang sangat sulit dihilangkan. Membuat sari jeruk lemon. Sebuah minuman yang disediakan untuk para dewan pembimbing, pengajar tahfidz dan panitia hamlah Muhmmad Falimbanng. Sumayyyah menggantikan pekerjaan Ablah Rahmah.

Sumayyah. Sebuah nama yang diberikan oleh orang yang sangat dicintainya setelah Allah dan RasulNya. Orang tuanya. Nama yang diberikan kepadannya bukan tanpa maksud. Nama yang kemudian menjadi titik tolaknya dalam mencetak prestasi demi prestasi.

*****

Tanggal Sembilan dzul hijjah pagi, menjelang subuh. Hamzah bersama enam orang temannya baru saja sampai di padang Arafah. Perjalanan enam jam Madinah-Arafah cukup membuat tulang-tulang lututnya menuntut untuk diselonjorkan. Membentangkan tikar-tikar persegi cukup menjadi alas mereka untuk shalat qiyamullail hingga subuh menjelang.

Setelah nafas subuh menyertai nafas dzikir mereka. Dua tenda yang mereka siapkan mulai dibentangkan untuk kemudian ditegakkan. Hamzah yang ditunjuk sebagai ketua rombongan pun ikut berjibaku memberikan tenaganya untuk saling meringankan rombongan kecilnya.

Wa lil haditsi baqiyah :-)

Kamis, 06 Desember 2012

Laut yang Meluap

Allah mempertemukannya saat beliau belum baligh. Ketika beliau mengembala kambing ahli Makkah. Saat itu matahari sedang asyik membakar bebatuan dan padang pasir dengan panasnya. Dua lelaki menghampirinya.

"Wahai anak kecil, perah susu untuk kami dari kambing ini, hingga dapat menghilangkan haus kami" Pinta salah satu dari keduanya. Matanya memandang keduanya, kemudian berujar: "Saya tidak akan melakukan, kambing ini bukan milik saya, saya diamanahi.

" Siapa gerangan anak kecil yang dapat mengucapkan kalimat ini. Hingga membuat wajah lelaki itu berbinar bangga.

"Tunjukkan kambing yang belum pernah dikawinkan" Pinta lelaki itu lagi. Tangannya menunjuk kambing yang kecil. Lelaki itu mendekati kambing dan merangkulnya. Mengusap tetek kambing tersebut dengan tangannya, sambil menyebut nama Allah. Terlukis senyum di wajahnya seraya berkata pada dirinya: "Sejak kapan kambing kecil dan belum pernah dikawinkan bisa ada susunya!"

Heran dengan apa yang disaksikannya. Tidak lama, mengalir dari tetek kambing itu susu. Sebuah kenyataan yang di luar nalarnya selama ini. Hingga keseluruhan atom tubuhnya ikut bergumam: "Apa yang terjadi!?" Tetek kambing itu mengembung dipenuhi dengan susu.

Berdiri lelaki yang lain mengambil batu yang cekung. Kemudian meletakkannya tepat di bawah tetek kambing tersebut. Darinya minum lelaki tersebut dengan sahabatnya. Tidak ketinggalan beliau yang menggembala ikut merasakan segarnya susu kambing gembalanya. Setelah terobati dahaganya. Lelaki pertama itu mengusap kembali tetek kambing seraya berkata: "Susutlah!" tidak lama kemudian kambing itu kembali pada keadaannya yang sedia kala.

Keheranan itu menggumpali dirinya.Mendorongnya mendekati lelaki -mubarak- itu, seraya berkata: "Ajarilah saya perkataan yang engkau katakan itu, wahai paman!" Bibir lelaki itu melengkung indah seraya berkata: "Sesungguhnya kamu seorang anak pembelajar yang mengajarkan"

Kedua lelaki itu meninggalkannya. Tapi beliau mengikuti keduanya menuju Makkah. Lelaki itu tidak lain Rasulullah Saw dan sahabatnya Abu Bakar Ra. Dan beliau sang pengembala kambing itu Abdullah bin Mas'ud. Itulah kisah awal pertemuannya dengan Rasulullah Saw.

Sebenarnya beliau telah banyak mendengar dakwah Rasulullah. Islam. Akan tetap ia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Hingga tidak pernah terpikir untuk memikirkannya.

Pertemuan itu menjadi awal baginya mengenal Islam. Hingga kemudian menyatakan kemerdekaannya dari kesyirikan dan kekafiran dengan bersyahadat di hadapan Rasulullah Saw.

Walau tubuhnya ringkih. Abdullah bin Mas'ud memiliki keberanian yang tinggi. Beliau tercatat sebagai orang pertama -setelah Rasulullah- yang berani membaca Al Qur'an di hadapan kaum musyrikin Quraisy Makkah.

Beliau dididik di rumah Rasulullah sejak awal dakwah. Hingga banyak yang mengira bahwa beliau dari keluarga Rasulullah Saw, saking seringnya terlihat keluar masuk rumah Rasulullah Saw. Beliau merupakan Sahabat Nabi Saw yang memiliki banyak kemiripan dalam akhlaq dan amalannya.

Beliau mendapatkan ilmu dari mata air yang suci. Senantiasa menyetai Rasulullah Saw. Hingga kemudian menjadi salah satu guru bagi ulama kaum muslimin. Serta menjadi orang yang paling hafal Al Quran dan Sunnah Nabi Saw. Tidak berlebihan jika kemudian beliau dijuluki: "Al Bahru Al Zahir. Laut yang Meluap"

Selasa, 04 Desember 2012

Masjid adalah Solusi

"Akalnya selalu terpikat untuk berpikir sebagaimana pikiran orang-orang di masjid. Hatinya selalu terikat dengan nilai-nilai yang dilahirkan dari masjid. Kakinya selalu terpaut untuk selalu melangkah ke masjid." Jawab DR. Suad Babaqy, ketika kami tanya kriteria pemimpin yang ideal.

Lakon 'Menggemaskan' yang kerap ditampilkan oleh para pemimpin kita kini. Rupanya kita harus selalu kembali mengurai komponen diri kita. Apa yang salah dari proses penghambaan kita kepada Allah? Hingga 'Kegemasan' demi 'Kegemasan' itu dalam hitungan detik menyapa kita? Bukankah pemimpin adalah salah satu cermin bagaimana sesungguhnya bangunan sosial kita? Tidak cukup kita berteriak keras menentang prilaku 'menggemaskan' itu.

Memunculkan pemimpin bagi Indonesia yang memiliki Akal yang berpikir, hati yang menyukai kebenaran dan anggota tubuh yang terprogram dengan nilai-nilai masjid lah yang akan menjadi solusi. Sebagaimana kriteria pemimpin yang disebut DR. Suad Babaqy di awal. Jika kemudian pertanyaan "bagaimana memunculkannya?" mengemuka. Cukuplah kita jawab dengan upaya keras dan kesungguhan kita untuk mendidik akal, hati dan anggota tubuh kita bermerk dan bergizikan 'masjid'.

Minggu, 02 Desember 2012

Kecerdasan yang Langka

Pantas saja kamu cerdas. Nutrisi akal, hati dan tubuhmu nutrisi orang-orang cerdas.

Terhadap nasehat, responmu sebagaimana Handhalah, spontan menyadari dan segera memperbaiki. 

Terhadap waktu, kamu layaknya Amir bin Abdi Qais, menjawab orang yang mengajaknya ngobrol dengan: "Aku mau mengobrol, jika engkau bisa menghentikan matahari dari peredarannya".

Terhadap makanan, kamu seperti Imam Muslim. Cukup kenyang dengan beberapa butir kurma.

Nyaris pesimis untuk menemukan orang-orang secerdas itu kini. Namun bertemu denganmu, optimisku tumbuh. Bahwa di jaman yang bergetahkan fitnah ini orang secerdas mereka masih ada.

Semoga Allah menjaga kekayaan terbesarmu. Kecerdasan manusia cerdas dalam memenangi hidup, dengan ketaatan kepada Pemilik dan Pengatur waktu.