Senin, 02 Desember 2013

Pagi, Fatih dan Taufiq

Pagi selalu menyediakan nuansa yang tiada dapat diredaksikan dengan kata-kata. Selalu saja ada ruang sempit dalam diri yang kemudian berubah lapang. Ada keruh yang menjelma jernih. Ada resah yang berganti bahagia.
Setiap pagi, tiga puluh menit sebelum belajar, tempat kami belajar menyediakan pilihan majelis ilmu yang bebas kami pilih dan ikuti, dengan ustadzah dan bahasan berbeda pada setiap majelis ilmu yang disediakan.  
Setiap senin pagi saya memilih hadir di majelis ilmunya ustadzah Fattuhah el Indonesia. Beliau salah satu ustadzah Umm Al Qura University keturunan Indonesia. Ustadzah di jurusan Dakwah ini, memberi kami pencerahan tentang Asmaul husna. Pagi itu beliau sedang membahas tentang Ar Rahman dan Ar Raheem.
            "Salah satu dari Ar Rahman dan Ar Raheemnya Allah adalah taqdir Allah bagi seorang muslim di negeri minoritas muslim. Allah beri mereka keteguhan dan kegigihan untuk memegang erat aqidahnya di tengah masyarakat yang mengingkariNya." Salah satu uraiannya pagi itu.
"Sebut saja, Fatih Seferagic. Seorang pemuda yang berkebangsaan Bosnia. Allah tetapkan ia hidup dan tumbuh di Amerika. Sebuah negeri yang kita pahami bersama sebagai negeri kuffar. Fatih di lahirkan di Jerman,  pada usianya yang ke empat orang tuanya membawanya hijrah ke Amerika. Di Baltimore dia tinggal dan menyelesaikan hafalannya pada usianya yang ke dua belas tahun. Saat ini sambil belajar di Bayyinah's Dream program, ia juga menjadi pengajar Al Quran dan ketua remaja masjid Syaikh Yasir Birjas di Dallas, Texas." Tambah Ustadzah Fattuhah, menjelaskan kisah singkat seorang Fatih.
"Atas Rahman & Raheem Allah jualah, seorang Fatih mendapatkan taufiqNya. Hingga Al Quran menjadi teman hidupnya. Karena Taufiq Allah ini bukan rumah yang ditempatinya, bukan juga seseorang yang menjadi temannya, bukan pula pakaian yang diingininya. Tapi Taufiq adalah pemberian yang Allah idzinkan kepada hambaNya untuk menjadi bagian penting dalam sepanjang hidupnya. Layaknya tumbuhan yang selalu butuh guyuran air sebagai nutrisi terpentingnya. Maka, menghujaninya dengan shalat dan doa, berprasangka baik terhadap Allah dan manusia adalah jalan penting mempertahankan taufiq yang telah Allah anugerahkan. Keberadaan taufiq dalam kehidupan seorang Fatih yang menjadikan Al Quran sebagai bagian dari hidupnya adalah bukti Rahman dan Raheem Allah selalu melingkupi kehidupannya." Analisa ustadzah yang selalu berbinar dengan ulas senyum tulusnya.
"Kita pun harus yakin bahwa masalah adalah masalah 'taufiq'. Kita lihat pada 'dzikir' yang merupakan paling mudahnya ketaatan yang bisa dilakukan, tapi tidak semua orang dapat melakukannya secara terus menerus, kecuali taufiq Allah yang tercurah kepadanya." Begitulah Ustadzah mengakhiri majelis ilmunya, di pagi hari itu.

Rabu, 12 Juni 2013

Jalan Cinta

Jalan cinta ini sungguh berliku. Jalan menerjal dengan keringkihan diriku. Melupakan segala selain himmahku. Seringkali cukup utopis menjejaliku.

Langkah pasti itu seakan hanya imaji belaka. Optimis beringsut letih membersamai asa. Jejak risih saatnya dibatasi ruang geraknya. Hingga bangkit kembali bergelora.

Betapapun jalan ini berliku dan terjal. Yakin dan tawakkal pada ketentuanNya adalah cinta yang harus senantiasa dibangun dan diperjuangkan.

Rabu, 05 Juni 2013

Ibu: Rindu yang Tak Terbeli

"Gimana kabar mamamu pagi ini, Zen?" Tanyaku selalu setiap Zen datang dari pusat informasi asrama.

"Mama masih dengan cintanya yang deras mengaliri pembuluh darahku. Masih dengan citanya yang membangun puzzle impianku. Masih dengan doanya yang melengkapi jalan dan jenak hidupku." Jawab Zen selalu membangkitkan kerinduanku kepada Emakku. Memberiku pelajaran penting bahwa seorang Ibu adalah salah satu energi pembangkit yang harus selalu diperbaharui dengan selalu menyapanya, untuk menyerap cinta, cita dan doanya.

Aku mengenal Zen tiga bulan yang lalu. Dia pindahan dari Sekolah Indonesia Makkah. Dia tidak pernah absen setiap pagi setelah menyelesaikan aktivitas paginya, sebelum memulai aktivitas belajarnya, ia selalu sempatkan untuk bercengkrama dengan mamanya di Makkah. Dengan memakai skype dia menyapa mama dan keluarganya di Makkah.

"Kabar emakmu gimana, Didi?" Zen balik bertanya.

"Emakku insyaAllah akan selalu baik-baik saja, Zen." Jawabku, karena frekuensi komunikasiku dengan emak jauh lebih sedikit dan tidak sesering Zen. Padahal dari segi jarak aku lebih dekat dengan emak. Asramaku dan rumahku hanya berbeda kabupaten. Asramaku di Bogor rumahku di Jakarta. Berbeda dengan Zen yang mama dan seluruh keluarganya di Makkah.

"Emakku selalu ada dalam doaku, Zen." Sesekali begitu aku menjawab pertanyaan Zen. Disamping memang aku tidak akrab dengan emakku, hingga kemudian aku bisa menyapanya hanya sepekan sekali. Tidak jarang aku menunggu emak yang menelponku. Pembicaraanku dengan emak datar-datar saja, seputar menanyakan kabarnya, meminta nasehat, maaf dan doanya. Itu saja, tidak seakrab Zen dengan mamanya. Itu saja sudah lebih dari cukup bagiku. Cukup memberiku penyegaran. Cukup membangkitkan macan tidur di dalam diriku.

"Khair, insyaAllah, Didi. Alhamdulillah atas anugerah mama. Allah jualah yang menitipkan rasa rindu. Rasa itu tidak akan pernah terbeli. Kita harus bersyukur masih menyadari arti kehadirannya. Tidak menjadi keharusan yang mutlak kita menyapa mama kita secara langsung. Menyertakannya selalu ada dalam doa-doa kita, juga sebagai penyambung rindu kita kepada ibu kita. Juga akan melahirkan energi yang melimpahi aktivitas kita." Salah satu pencerahan yang Zen bagi, tentang arti ibu dan rindu. 

Kamis, 11 April 2013

Terminal Pinta

"Setiap detiknya dalam dzikir. Setiap jenaknya dalam syukur dan sabar. Setiap betiknya dalam sebaik-baik penghambaan. Semoga Allah meridhoi akhirnya ridho dan surga." Gumam lisan dan hatinya pada setiap terminal pintanya.

Terminal pinta itu adalah ruang rindunya. Dimensi sunyi yang beberapa senja sangat jarang ditemuinya. Allah menyegarkan ruangnya ini dengan membentangkan kesempatan untuk membenahi.

Antara adzan dan iqomah adalah terminal pintanya. Terminal yang senantiasa memantik setiap nama yang sempat mewarnai kehidupannya. Menyulamnya dalam rajutan kebaikan yang dipintanya.

Saat sujud juga terminal pintanya. Setelah tasbih tunai dilafalkan, meminta keteguhan hati dalam tuntunan agamaNya adalah salah satu pinta yang kerap dirapalnya.

Jumat adalah terminal pinta yang cukup berwarna. Cahaya yang dijanjikan. Pesona amal yang giat digerakkan. Janji syafaat pria penuh cinta bagi shalawat dan salam yang didegupkan.

Terminal pinta yang selalu menjadi kerinduannya. Semoga Allah membimbingnya istiqomah. Menaqdirkannya meraih husnul khotimah.

Sabtu, 02 Februari 2013

Majelis Ilmu bersama Ustadz LHI


Malam itu setelah maghrib di Daarut Tauhid Intercontinental Hotel Makkah. Pertama aku berada dalam majelisnya. Dengan gaya lembut tapi dengan suara yang penuh semangat. Nasehat mengalir. Mengingatkan amanah keberadaan kami di bumi yang paling di berkahi Allah ini.

Selama ini hanya namanya saja yang aku kenal. Malam itu Allah beri kesempatan menyerap sedikit dari lumbung kebijaksanaannya.

"Bersungguh-sungguhlah menjalani amanah kesempatan, mereguk segarnya ilmu Allah dari sumber aslinya, karena umat menunggu antum dengan ilmu yang antum dapatkan di sini" Salah satu nasehatnya yang sempat aku rekam di notesku.

"Setiap pulang cuti sempatkanlah membantu sekitar antum mengenal bahasa surga. Bahasa Arab. Motivasi mereka, hingga tumbuh kecintaan mereka terhadap bahasa pemandu hidup mereka. Bahasa Al Quran. Amal sedikit antum, insyaAllah akan menjadi bekal berharga antum menghadap dan berjumpa Allah." Nasehatnya lagi yang menggerakkan. Hingga Allah lahirkan kemudian pada masa liburanku sebuah khidmah "Kampung Qurani" & "Rumah Bahasa".

"Dalam ketidak-tahuan kami; amat sedih jika Ustadz Luthfi bersalah. Tapi jauh lebih sedih kalau ternyata tidak." Meminjam kicau hikmah Gurunda Salim A. Fillah. Semoga Allah menyegerakan jalan keluar bagi masalah yang sedang menyapanya. Menguatkan dan memuliakannya.

Selasa, 25 Desember 2012

Derap Kaki

Suara-suara mobil pengantar mahasiswi Umm Al Qura University masih terdengar sibuk. Pasti ada kuliah pagi ini. Aku meyakini itu. Sinyal Wifi dari warung internet dekat rumah CAHAYA juga terbuka. Pasti ada kuliah pagi ini. Sebuah variabel yang meyakinkanku untuk tetap memaksa kakiku melangkah menuju jami'ah pagi ini. Sempat aku meyakini bahwa hari ini akan ada kabar bahwa jami'ah libur. Karena sejak subuh tadi rinai hujan mengguyur kota Makkah. Pada pengalaman yang lalu, baru diramalkan akan hujan saja, Wakil Rektor Jami'ah akan buru-buru mengumumkan penghentian proses belajar-mengajar. Apalagi sampai hujan lebat? Dalih yang sempat aku iyakan untuk bertahan di rumah. Enggan keluar.

Namun kenyataan bahwa deru mobil itu semakin nyaring terdengar. Serta sinyal wifi yang terbuka sejak jam menunjukkan angka tujuh. Aku bersegera menyiapkan diri berangkat ke Jami'ah. Semoga dugaanku tidak meleset

Aku berhasil mengajak kakiku melangkah. Menyusuri tempat parkir masjid, terlihat jejeran toko foto kopi juga sudah terbuka. Ada beberapa mahasiswi yang membeli beberapa kebutuhannya. Dari kejauhan terlihat juga mahasiswi di luar pintu gerbang jami'ah. Sepertinya mereka menunggu jemputan. Berarti tidak ada kuliah pagi ini. Simpulku cepat. 

Sesampainya di depan Jami'ah aku memastikan kepada salah seorang mahasiswi. Ternyata memang benar mereka sedang menunggu jemputan. Jadi suara deru mobil yang tidak selesai-selesai itu karena bersambung dengan suara mobil yang menjemput. Bi kulli khairin 'ala kulli hal, insyaAllah. Desahku.

Mengingat pekan ini pekan terakhir sebelum pekan depan mulai ujian akhir semester. Sisa keyakinanku masih ada. Aku belum sepenuhnya yakin bahwa kuliah benar-benar diliburkan. Ku lihat rinai hujan sudah berhenti. Cuma mendung masih menggantung di langit Makkah. Aku terus masuk menyusuri mabna Tha', kemudian mabna Dal. Di Mabna ini saudari fillah bagian kebersihan jami'ah terlihat memakai abaya, menenteng tas dan menyimpan dan merapikan perangkat kebersihannya. Wah sepertinya ini benar-benar libur.

Namun rupanya kakiku masih terus melaju, melanjutkan perjalanan memastikan ruang kuliahku hari ini benar-benar kosong atau tidak? Dari Mabna Dal aku menuju Mabna Alif. Sesampainya di Mabna Alif ruang 210, ruang kuliahku kosong tidak satupun manusia aku dapatkan di dalamnya. Tidak perlu menyesal, Qy! Hiburku sambil berusaha keras melengkungkan bibir. 

Akhirnya kaki ini harus yakin untuk kembali ke rumah CAHAYA. Dari Mabna Alif aku lewati Mabna Ba' dan Mabna Jim. Hingga bertemu jembatan yang menjadi penghubung antara Mabna Jim dan Mabna Dal. Dari atas jembatan itu aku menuju Mabna Tha'. Aku keluar dari jami'ah melalui pintu Mabna Tha' atau dikenal juga dengan pintu masjid. Karena tepat di seberang jami'ah ada sebuah masjid.

Semoga Allah catat kaki ini sebagai kaki yang hanya menujuNya. Aku harus memaksa upayaku untuk meyakini bahwa tidak ada kesiaan dalam gerak kakiku pagi ini. Bukankah bibir ini sempat melempar lengkungannya, lidah mengucap serta menjawab salam kepada setiap orang yang ditemuinya. Hingga terproduksi energi lapang yang tidak ada toko manapun di dunia ini yang menjualnya. Semoga Allah membimbing kaki ini agar hanya meniti jalanNya. Ameen.     

Senin, 24 Desember 2012

Ibu & Pagi

Hari itu masih sangat pagi. Dingin menyusup, nyaris mempora-poranda pertahanannya untuk memulai geliat paginya. Lima lembar dari sepuluh lembar tugasnya belum disentuhnya. Pada jam 8 pagi itu harus dikumpulkan. Mengulang mata kuliah belum dijamahnya. Wirid Al Quran satu juz ba'da subuh belum ditunaikannya. Membuatkan sarapan untuk anak semata wayangnya, Samiyah dan suaminya juga belum dimulainya.

Setumpuk rutinitas yang harus diselesaikan dalam sedikit waktu yang tersedia. Melawan dingin sambil menikmati pagi. Memaksa ingatannya akan sabda model utama bagi kehidupan ini. Muhammad bin Abdillah Saw. Burika li ummaty fii bukuriha. Keberkahan bagi umatku di pagi harinya. Sebuah sabda yang memberikannya semangat yang meluap untuk melewati rutinitas yang sama sebagaimana hari-hari biasa.

Tetiba ia menepikan selimutnya. Bersegera menuju dapur. Mengiris pisang. Meletakkannya di atas permukaan roti. Menaburi sedikit keju dan susu coklat. Ditutup dengan roti lain. Dipotong segitiga. Enam potong berhasil dibuatnya. Kemuadian meletakkannya di tempat pemanggang. Menunggu masak. Tangannya mengambil mushaf yang tersedia di dapur. Mengejanya. Ketenangan menyerapi ruang dirinya. Hangat pun juga memendari pembuluh darahnya.

Dua lembar berhasil dibacanya. Tidak seperti hari biasanya. Tapi cukup melahirkan energi. Semoga cukup untuk jenak pagi sampai menjelang dzuhur. Harapnya. Enam potong roti pisang dan tiga gelas juz jeruk ditata di atas meja makan.

"Samiyah, sarapan yuk!" menghentikan anaknya membaca. Samiyah menganggukkan kepala dan bersegera menuju meja makan.

"Ayah, sarapan sudah siap!" mendengar ajakan istri. Suaminya mengamini dan meninggalkan laptopnya.

Semua melingkari meja makan. Sambil menikmati sarapan yang dibuatnya bersama orang terkasihnya. Tangan kirinya sibuk menulis sisa tugas kuliahnya.

"Menulis apa, bu?" tanya Samiyah.

"Surat cinta untuk dosen" Jawabnya asal sambil melempar senyumnya ke arah suaminya.

"Dosennya laki atau perempuan, bu?" tanya suaminya.

"Kalau perempuan kenapa, kalau laki juga kenapa?" jawabnya balik bertanya.

"Ya ga apa-apa, Bu"

"Kayaknya ada yang khawatir dan cemburu ni, Bu" Timpal Samiyah cengengesan.

Wa lil haditsi baqiyah :-)